Jendela Perjalanan Ileana
Terlihat di sebuah ruangan terdapat kursi di tengah – tengahnya dengan pencahayaan yang hanya menyorot kursi itu. Di depannya terlihat sebuah kamera tengah di otak atik oleh seseorang. “Hahh….ini kamera gimana sih, bisa – bisanya ngebug di awal!” Omelku, selagi mencoba kembali. “Seharusnya ku ikutin saja saran dari Naura, inilah akibatnya jika membeli secara online!” ucapku menyesal, akhirnya kucoba tekan tombol rekam, Tik! terdengar suara dari kameranya. “Akhirnyaaa!” seruku lega, langsungku duduk di kursi yang tersorot lampu itu, “Ekhem…halo semuanya kenalin namaku Ileana Sasikirana. Biasa dipanggil Lea atau Lana, tapi aku lebih suka dipanggil Lea hehe, Sekarang aku sudah kelas 12 dan ini adalah awal dari video dokumentar yang akan kubuat. Tujuan utamaku membuat video ini tidak lain adalah sebagai penilaian akhir namun ini juga bisa menjadi sebuah pengalaman yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidup “ku melihat stopwatch, ternyata sudah melewati batas durasi yang diperkirakan, “Baiklah sudah cukup dulu perkenalannya, sampai ketemu lagi!” lanjutku mengakhiri, segera ku matikan rekamannya. Cukup bagus! komentarku saat melihat rekamannya kembali. Tiba – tiba saja ada yang mengetuk pintu ruangan, aku sudah menduga siapa itu, langsung saja aku persilahkan mereka masuk. “Leaaaa kami sudah datang!” teriak Naura yang memang paling antusias, “Pelankan suara kau Nau! nanti ganggu kelas lain yang lagi belajar” tegur Budi kesal, sepertinya ia tidak ingin kena panggil kepala sekolah lagi. “Iya, iya, sorry kesenengan gua kita bisa dispen hehe” balas Naura tidak bersalah, kita semua hanya bisa menghela nafas melihat niat Naura yang tidak baik. “Jadi, Le kita harus ngapain nih?” tanya Dimas, “Kalian udah baca pertanyaan yang Aku kasih kan? nah nanti kalian duduk aja disitu terus jawab pertanyaan Aku sesuka kalian aja, tapi tetep harus sopan yah!” jawab ku panjang, “Inget! ini direkam, jaga sikap biar citra kalian tetep bagus, kecuali Budi yang udah gabisa diselamatin sih” lanjutku jahil, “Wah, ngajak ribut kau Le” balas Budi tidak terima. Kami tertawa kecil, “Kalo gitu yang pertama direkam Naura aja deh” suruh ku meminta Naura untuk duduk, “Jangan gugup ya, nanti kamu perkenalan diri dulu baru abis tuh ku kasih pertanyaannya” ucapku mengarahkan, Naura membalas dengan postur tangan jempol, “3…2…1…Action!”.
Aku mengambil tas kamera dan berjalan keluar ruangan tidak lupa mematikan lampu serta menutup dan mengunci ruangan, kutaruh kunci di ruangan janitor kembali, lekas ku berjalan menuju parkiran sekolah. Lingkungan sekolah sudah terasa sepi walaupun baru jam 5 sore lewat, aku mengendarai motor dengan santai, menikmati angin sore yang nyaman serta matahari terbenam. Alhamdulillah tak terasa sudah sampai di rumah. Kutaruh kamera di atas meja dan segera membersihkan diri, perutku sudah bergerutu tanpa henti. Kuputuskan makan malam sebelum lanjut beraktivitas. Sesudah kebutuhan jasmaniku terpenuhi, ku bergegas mengambil kamera yang sebelumnya disimpan di atas meja sekaligus laptop di sampingnya, segera kunyalakan kedua perangkat tersebut, kupindahkan rekaman hari ini ke dalam laptop dan memeriksa ulang rekaman tersebut. “Sekalian nyicil ngedit ajadeh, biar ga terlalu banyak” gumamku, sesuai dugaan terdapat banyak potongan rekaman yang harus disatukan. Pilihan pertama adalah rekaman Naura, kuputar rekamannya satu persatu dan mengeditnya.
“Halooo semuanyaaa!!! perkenalkan nama gua Naura Jovanka, sering dipanggil Naura, Rara atau bisa juga kakak kelas cantik hehe” ucap Naura percaya diri, “Yeu, lebih ke kakak kelas yang narsis sih” sahut Budi, “Setidaknya ga terkenal karna bandel wlee” balas Naura gamau kalah. Belum sempat Budi membalas, Naura melanjutkan kembali perkenalannya, “Sekarang gua di kelas 12 MIPA 2, kalau lihat gua jangan sungkan buat nyapa ya! dijamin sapa balik, oh iya jangan lupa follow sosmed gua juga, @Naurr.Jovn nanti di follow balik kok!”. Benar – benar Naura banget, ga lupa promosiin sosmed dia setiap ada kesempatan, tapi ya itu memang keunikan dia. Lanjut ku melihat rekaman lainnya, “Untuk asal daerah sebenarnya gua masih belum tahu, soalnya orang tua gua sendiri juga lahir dan dibesarkannya di Jakarta, cuman untuk keluarga besar rata – rata semuanya di daerah Jogja, info yang gua juga baru tahu ternyata tante atau kakak nya Bunda gua dan nenek dari pihak Bunda, lahir dan dibesarkannya tuh di jogja sebelum akhirnya pindah ke Jakarta. Jadi, bisa dibilang kampung halaman Bunda gua itu Jogja, walaupun ga secara keseluruhan banget, lagian kalo ngunjungin nenek pasti ke Jogja juga” jelas Naura panjang, “Buat akses menuju Jogja biasanya lewat mana?” tanya ku, “Setahu gua, bisa lewat jalur darat dan udara, kalau jalur darat bisa pakai kereta atau lewat tol” jawab Naura singkat. Kuhentikan rekamannya dan segera mengambil buku untuk mencatat, sepertinya ini bisa masuk ke dalam daftar tujuan, kutaruh catatanku dan fokus kembali ke laptop.
Kusudahi dengan rekamannya Naura dan lanjut kepada rekaman Budi, kupencet salah satu rekaman, “Hai, kenalin nama gua Budi Sadajiwa, biasa dipanggil Budi, sekarang gua di kelas 12 IPS 4” ucap Budi singkat. Disini kita semua pada kaget, ga nyangka sesingkat itu perkenalannya si Budi. “Bud, coba panjangin lagi perkenalannya, ga nyampe 5 detik itumah” ucap Dimas, “Iya nih! kek gua tadi dong!” sahut Naura, “Hahh…yaudah gua coba lanjutin lagi” balas Budi pasrah, “Sekarang gua jadi kapten buat tim basket sekolah dan udah pernah membawa pulang medali emas kejuaraan basket tahunan 3x juga medali perak kejuaraan basket provinsi 2x” lanjut Budi. Untung rekamannya langsung ku hentikan, kalau ga bakalan kerekam kejadian di balik layarnya, bakalan kepanggil lagi itu si Budi kalau ketahuan. “Lanjut rekaman yang ini aja deh” gumam ku, “Makanan dari Lampung yang terkenal itu…..oh iya! keripik pisang Khas Lampung, variasi rasanya ada keju, coklat, susu, balado dan masih banyak lagi deh, tapi gua pribadi lebih suka yang rasa susu” jawab Budi, “Kalau pengalamanmu saat ke Lampung gimana Bud?” tanyaku penasaran, “Hm, untuk bahasa bagi kita yang orang awam masih bisa berkomunikasi gitu, soalnya rata – rata pada pake bahasa Indonesia kayak biasa, tentu mereka masih ada yang pake bahasa Lampung. Lalu buat suasanannya bisa dibilang lebih adem di Lampung sih, ga sepadat Jakarta deh” jawab Budi. Kuhentikan lagi rekamannya dan kembali mengambil buku untuk mencatat, buat menghirup udara segar cukup bagus, hanya saja akses masuk hanya tahu melewati jalur laut, sepertinya tidak memungkinkan terlebih biaya yang kupunya terjangkau.
Setelah istirahat sejenak, aku kembali melihat kembali rekaman yang terakhir untuk malam ini, untungnya dia tidak membuat banyak kesalahan sehingga memori kameraku terselamatkan. “Halo, apo kaba? nama ambo Dimas Sultan Tanjung, ambo biasanya dipanggil Dimas” ucap Dimas, “Itu bahasa apa Dim?” tanyaku bingung, “Bahasa Padang Le, apo kaba artinya apa kabar kalo ambo artinya aku” jawab Dimas singkat, aku menganggukan kepala tanda mengerti. “Aku sekarang dikelas 12 MIPA 3 dan jabatanku di sekolah adalah sebagai Ketua OSIS juga duta SMA nasional, tapi itu semua bakalan berakhir dalam 3 bulan ini karna sebentar lagi kita akan kelulusan, semoga untuk adek kelas yang melihat ini dapat bersemangat untuk membanggakan sekolah kedepannya” lanjut Dimas optimis. Memang tidak salah Dimas disukai oleh banyak murid dan guru, bisa dibilang sangat langka untuk menemukan murid lain seperti Dimas. Kuputar rekaman selanjutnya, “Sewaktu orang tua ku menikah, mereka menggunakan adat Sumatera Barat, seingatku pakaian tradisional wanitanya disebut dengan Baju Kurung sedangkan pakaian prianya disebut dengan pakaian adat Penghulu. Ibuku juga dulu pernah menampilkan Tari Piring dari Sumatera Barat semasa mudanya” jawab Dimas panjang, “Bolehkah aku merekam Ibumu untuk menari Dim?” Tanyaku, “Sorry Le, tapi Ibuku sudah terlalu berumur untuk kembali menari” balas Dimas tidak enak, “Tapi seingatku tarian itu masih sering ditampilkan di sanggar tari manapun” lanjut Dimas. Mendengar kalimat Dimas direkaman membuatku merasa optimis dapat menemukan sanggar tari yang dapat menampilkan Tari Piring untuk dokumentarku. Rasa kantuk yang berat membuatku memutuskan untuk melanjutkan aktifitas keesokan hari saja. Kurapihkan semua nya kembali hingga tidak ada yang berantakan diatas kasur, mimpi indah menyambutku dengan cepat malam itu.
Udara segar menyambutku dalam perjalanan hari ini, tidak terasa sudah waktunya keretaku berangkat, lekas ku tarik koperku memasuki gerbong kereta dan mencari tempat duduk. Tidak lupa menempatkan kamera untuk merekam seluruh perjalanan, walaupun kelas ekonomi menurutku sudah lebih dari cukup untuk perjalanan 8 jam ini. Seorang wanita tetiba saja menghampiri tempat duduku, aku melihatnya kebingungan, “Permisi, sebelah kamu kursi H-17 bukan?” tanyanya kepadaku, “Iya benar, silahkan ka” jawabku cepat. Sepertinya teman ngobrol ku merupakan wanita yang berusia sekitar 20 tahun, terlihat dari wajahnya juga nada bicaranya yang masih terbilang santai, wanita yang belum kuketahui itu menaruh barangnya dibagian atas kursi, selesai merapihkan ia duduk kembali dan tersenyum kecil melihatku memperhatikannya, aku yang tersadar segera memalingkan pandangan. “Apakah kamera itu merekam?” tanyanya menunjuk kamera didekat jendela, “Ah maaf, akan kumatikan” balasku yang tersadar sudah merekam tanpa seizinnya, “Tidak usah, tidak apa – apa, aku senang masuk ke dalam videomu” ujarnya. Aku bernafas lega ia tidak marah, “Kamu merekam untuk apa?” tanyanya lagi, “Buat dokumentasi ka, aku membuat video dokumentar mengenai keberagaman seni di Indonesia” Jawabku singkat, “Wah! keren banget generasi sekarang” serunya bahagia, “Kamu sekarang mau ke Jogja kan? eh lupa belum kenalan kita, main asal nanya aja akunya hehe” lanjutnya terkekeh malu, aku tersenyum melihat kecerobohan wanita itu, “Kakak gemas deh! namaku Ileana, panggil aku Lea aja, salam kenal ka” ujarku memperkenalkan diri, “Salam kenal juga Lea! kamu bisa panggil aku Ayu, seneng banget dibilang gemas!” ucap Kak Ayu gembira, aku tertawa kecil melihat reaksinya, “Iya ka, aku ke Jogja tujuannya mau bikin dokumentar secara langsung untuk tugas akhir ini, makanya aku bakalan ngerekam seluruh perjalannya” Jelasku, Kak Ayu mengangguk mengerti,”Kak Ayu sendiri gimana?” tanyaku penasaran, “Kalau aku….mau menjenguk Ibuku yang sakit di Jogja” balasnya pelan, terlihat tangan Kak Ayu bergerak gugup. Aku terbungkam, merasa tidak enak untuk melanjutkan perbincangan, lawan bicara ku juga terdiam sejenak, hanya terdengar suara rel kereta, “Aduh maaf ya, sepertinya jawabanku barusan membuatmu tidak enak” lanjut Kak Ayu, “Sebenarnya aku diminta untuk menemani Ibuku saja, saudaraku yang lainnya tidak sempat karna ada yang sudah berumah tangga dan ada kerja dinas, aku sendiri anak bungsu Le jadi dari semuanya hanya aku yang masih bisa terbilang bebas” jelas Kak Ayu.
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak yang kutahu dari Kak Ayu, menurutku pertemuan ini sangat cocok untuk dokumentarku, Kak Ayu ternyata lahir di Surabaya dan merantau ke Jakarta untuk melanjutkan kuliahnya, sedangkan Ibunya dipindahkan ke Jogja untuk mendapatkan perawatan yang lebih efektif. Mengetahui hal itu, aku berencana meminta Kak Ayu untuk diwawancarai, namun sepertinya perut kami selangkah lebih cepat. Krucuk krucuk, kami berdua tertawa mendengar suara perut sendiri, dengan menatap satu sama lain kami tahu sudah saatnya menuju gerbong kantin. Tidak lupa aku membawa kamera dan merekam perjalanan kami.
“Halooo teman – temannya Lea” sapa Kak Ayu ke kamera, “Sekarang udah 4 jam perjalanan dari stasiun Jakarta, kita berdua keasikan ngobrol banget, tau-tau uda siang aja” jelas Kak Ayu memperlihatkan waktu di layar ponselnya, “Jadi kita mau makan apanih ka?” tanyaku, ini merupakan perjalanan panjang pertamaku menaiki kereta. Mendengar pertanyaanku, Kak Ayu hanya memberikan isyarat untuk mengikutinya saja, akupun kembali merekam, memperlihatkan suasana di kereta tampak ada yang sedang makan siang dan tidur untuk menghemat energi selama sisa perjalanan. Setibanya di gerbong area makan, kami segera mengantri, tetap dengan kamera yang mengarah kedepan. Saatnya giliran kami untuk memesan, aku melihat keseluruhan menunya, terdapat satu menu yang menarik minatku dan sepertinya keinginan kami berdua sama. Selagi menunggu makanan kami dipanaskan, aku ingin meminta kak Ayu untuk diwanwacarai, Jadi kami pergi ke pinggir gerbong untuk menjauh dari keramaian, “Kakak boleh mulai dengan perkenalan diri aja dulu” ujarku, “aku mulai yaa, 3….2…..1” lanjutku.
“Selamat siang teman teman sekalian, kenalin nama aku Ayu, aku jadi teman duduknya Lea diperjalanan kali ini, kita bener-bener baru kenalan sekarang!” sapa kak Ayu, “Baru kenalan tapi udah kayak bestie hahaha” sahutku ketawa, “Udah takdir pasti inimah” balas Kak Ayu, “Sekarang kita lagi mau makan siang nih, tapi masih dipanasin hehe. Coba tebak kita makan apa hayoo?” tanya Kak Ayu ke kamera, “Yak! kita hari ini makan rawonn!” lanjut Kak Ayu. Sebelum sempat melanjutkan perkataannya, nama kami sudah dipanggil duluan, aku tetap melanjutkan rekaman memperlihatkan Kak Ayu yang membawa nampan, tidak lupa ia juga menunjukkan 2 paket Rawon dengan sepiring nasi tersebut ke kamera. Sudah terekam, aku bergegas mematikannya dan membantu Kak Ayu memegang nampan.
Sesudah mendaptkan meja makan, aku kembali menaruh kamera di ujung meja yang dapat memperlihatkan kami berdua. Aku mengambil paket Rawonku, sebelum makan kami membaca doa sesuai kepercayaan masing – masing, aku mencoba kuah rawonnya terlebih dahulu. Satu sendok penuh dengan kuah menyapa lidahku, aku terkejut walaupun hanya dipanaskan namun gurihnya masih kerasa, segera kumakan lagi kuahnya tidak lupa ditambahkan potongan daging rawonnya. “Lahap banget makannya, seenak itu ya” cetuk Kak Ayu melihatku, “Enak pake banget! aku kaget loh” ujarku, “Hahaha, pelan-pelan aja makannya nanti kamu keselek” ucap Kak Ayu mengingatkan, akupun tersadar dan segera memelankan tempo makanku. “Oh iya, aku udah sering makan rawon tapi aku gapernah tau asalnya darimana, kakak tau ga?” tanyaku penasaran, “Kamu mainnya kurang jauh Le, rawon tuh dari jatim daerah Ponorogo” jawab Kak Ayu, “Loh Ponorogo toh” balasku kaget, “Iyaaa, kamu baru tau banget ya” gemas Kak Ayu, “Ngomong – ngomong ponorogo, kayaknya aku masih ada video tari Reog yang waktu dulu kurekam, kamu mau liat ga?” tawar Kak Ayu, “Jelas mau banget dong, lumayan jadinya aku ga perlu jauh – jauh ke Ponorogo buat liat secara langsung” jawabku langsung. Kak Ayu mengambil handphone dari sakunya dan memperlihatkan rekamannya kepadaku, video yang berdurasi hanya 3 menit itu saja sudah membuatku takjub, tidak lupa kuperlihatkan beberapa potongan video ke kamera. Dilihat dari video saja sudah membuatku tercengang, bagaimana jika kulihat secara langsung? Mungkin sudah terpaku diam seperti batu akunya.
Tidak terasa sudah waktunya aku berpisah dengan Kak Ayu, kami bertukar kontak dan berpelukan untuk terakhir kalinya saat ini, walaupun hanya sekilas namun pertemuan kami sangatlah memorable. Aku melabaikan tangan menunggu hingga punggung Kak Ayu tidak terlihat lagi, tidak membuang waktu lebih lanjut, aku kedepan stasiun untuk memesan taksi online menuju tempat untuk beristirahat. Sesampainya aku disambut hangat oleh tantenya Naura, “Dek Lea ya?” tanyanya, “Iya tan” jawabku gugup, “Masuk dulu yuk sini” ajaknya. Aku membawa masuk koperku, namun tepat di depan pintu tetiba seorang nenek muncul “Iku sampeyan Windah?” tanyanya, “Iya bu ini aku” jawab tante Windah, “Sinten niku win?” tanyanya lagi, “Rencang e naura sing ajeng sare ten griyani diani” balas tante Windah, “Oh dek Lea! kancane Naura!” ujarnya terkejut, “Mari dek Lea ayo masuk” ajaknya kepadaku. “Iya nek, aku permisi mau lepas sepatu sebentar” izinku, segera aku duduk melepas sepatuku, aku menduga nenek itu adalah Ibunya Tante Windah. Setelahnya aku dikasih tahu kamarku, “Kamu dikamar anak tante ya, dia lagi sibuk kuliah jadinya belum sempat pulang, kamu pasti capek kan? didalam nya ada kamar mandi juga tante udah siapin kamu air panas di dalam ya” ucap Tante Windah, “EH AIR PANAS? tante ga perlu sampai repot – repot segitunya” panikku tidak enak, “Gapapa, tante tau kamu pasti capek, gada salahnya buat ngilangin penat” balas tante Windah, sebelum sempat membalas aku segera didorong masuk kamar, akupun pasrah dan akhirnya merapihkan barangku sedikit sebelum ke kamar mandi. Seperti nasihat Tante Windah air panasnya memang efektif, seketika penatku hilang. Setelahnya aku kembali merapihkan seluruh sisa barangku dan segera aku beranjak ke tempat tidur untuk menyambut mimpi, energi sangat kubutuhkan untuk perjalanan esok hari.
Aku meregangkan badanku sekaligus menghirup udara segar di pagi hari, sudah siap untuk melakukan pertualangan hari ini, seperti biasa aku telah mempersiapkan kamera di genggamanku, tidak lupa aku berpamitan kepada Tante Windah dan keluarganya terlebih dahulu. Tujuan pertamaku tidak lain adalah tempat sanggar dimana aku bisa melihat tarian secara langsung, lalu tempat lainnya hatiku berdegup kencang ini pertama kalinya dalam hidupku dapat memperlihatkan cerita perjalananku ke dalam video.
Namun itu semua tidak berjalan semulus yang telah diperkirakan, tidak ada yang dapat mengetahui masa depan atas kehidupan orang lain begitupun atas kehidupannya sendiri. Terdengar suara nafas panik seseorang, ia berlari sepenuh tenaga sembari melihat kanan kirinya seperti sedang mencari sesuatu, tetiba saja ia berhenti tepat didepan sebuah pintu bertuliskan kamar rawat nomor 07. Orang itu, mengatur nafasnya sejenak dan setelah stabil ia baru membuka pintu itu secara perlahan, terlihat seseorang terbaring diatas ranjang dekat jendela, ditubuhnya terdapat alat oksigen serta infus yang mengitari. Dengan cepat pria tersebut menghampiri dan memegang tangan yang terkapar lemas di depannya, tidak dapat menahan isaknya, ia lantas melampiaskan semua rasa penyesalan juga kesedihannya ditempat itu tetap dengan memegang erat tangan didepannya. “Seharusnya saya ikut bersamamu, ini semua tidak bakalan terjadi jika saya menemanimu! sungguh maafkan saya, maafkan saya tidak bisa menjadi orang tua yang baik untukmu, ya tuhan tolong bukakan mata putriku ini, dia satu satunya alasanku untuk hidup!” isaknya penuh kesedihan. Akan tetapi, tidak ada tanda-tanda pergerakan kepada pasien itu, “Saya mohon kamu harus bangun” ucapnya lagi terus memohon, “Saya gamau kehilangan kamu Ileana” lanjutnya penuh harap, semakin ketat pria itu menggenggam tangan tersebut.
Masih dengan jas putih yang dipakai nya, pria itu telah selesai membaca buku dan menaruhnya diatas meja, angin segar berhembus masuk melalui celah jendela tepat di belakangnya, pria itu memperhatikan putrinya yang tengah tertidur dengan damai. “sudah 3 bulan, apakah kamu tidak ingin terbangun dari tidurmu itu?” tanyanya, namun jawaban yang ia dapati hanyalah kicauan burung dari luar, “sebentar lagi hari kelulusan, teman – temanmu senantiasa menunggumu Lea…” lanjutnya lagi. Tetiba saja seorang suster memasuki ruangan, “Dokter Hendry, maaf mengganggu waktu istirahat anda, namun ada pasien yang membutuhkan anda” jelasnya, “Baiklah, saya akan menyusul” jawab dokter tersebut, suster itu mempamitkan dirinya. Sebelum pergi, ia menyimpan kamera dilaci meja kamar tersebut.
Sesudah pekerjaannya selesai, ia kembali duduk di tempat semula, membuka laci untuk mengambil kamera, ia mengambil SD card kamera tersebut dan memasukkannya ke laptop untuk melihat isinya. “Banyak sekali rekamannya, kamu melakukan pertualangan yang menyenangkan ya, kamu juga berkenalan dengan banyak orang” gumamnya sembari melihat wajah dari putri angkatnya, “Kamu juga belajar menari ya disana…oh kamu bahkan ke tempat yang kita berjanji akan datangi” lanjutnya, “kita harus ke gunung Merapi bersama! maka kamu harus kuat melawan penyakitmu Lea…” isaknya kecil. Sebelum menutup laptopnya, ia memutar video yang terakhir direkam.
“Halo gais, Lea disini! sekarang aku lagi di gunung Merapi menikmati pemandangan dari matahari terbit, kalian juga harus liat! nah bagus banget kan? kapan lagi gitukan ngeliat pemandangans seindah ini….huu disini dingin hehe, lusa lalu aku udah ke sanggar tari loh, pengennya hanya merekam tapi aku malah sekalian ikutan belajar juga deh, gapapa lumayan pengalaman” ucap Lea di video, “Sebenarnya aku gamau terlalu banyak ngobrol soalnya ini buat ucapan penutup untuk dokumentarku, tapi ga masalah bukan? aku ingin melepaskan semua pikiranku saat ini… alasan kenapa aku melakukan dokumentar ini bukan hanya untuk sekedar tugas saja, namun jauh lebih besar lagii! aku pengen liat dengan mataku sendiri seperti apa negaraku ini, yah walaupun tidak jauh hingga ke pulau lainnya, namun menurutku sudah lebih dari cukup” Jelas Lea, “Selama perjalanan ini aku senang udah bertemu banyak sekali orang, aku jadi tau bahwa walaupun di satu daerah saja kita dapat berjumpa dengan beragam orang dari daerah lainnya, aku juga mendengar bahasa daerah yang sebelumnya tidak pernah kutau, walaupun begitu mereka tetap senantiasa membantuku seperti memberikan rekomendasi tempat wisata atau rute yang bagus untuk dilewati” cerita Lea santai, “Aduh aku jadi kebanyakan cerita hehe…namun bagiku keragaman di negara kita sudah seperti keunikan yang menggambarkan sebuah negara itu, Indonesia merupakan negara yang terdiri atas beribu – ribu pulau serta banyaknya suku dan ras namun perbedaan atas itu semua tidak membuat kita terpecah belah, kita semua tetap dapat hidup dengan damai. Pengalaman ini merupakan sebuah bukti nyata pernyataanku ini!” seru Lea. Pria itu menyadari masih ada video lanjutan, “Untuk akhir kata aku mau mengucapkan terima kasih kepada teman-temanku yang sudah membantu pembuatan dokumentasi ini, juga terima kasih kepada Ayah angkatku yang sudah mendukungku sejauh ini, aku cinta kalian semua! sekian dari Lea!” pria itu tersenyum melihat akhir videonya, Ia akhirnya menaruh laptop tersebut dan berjalan keluar. Sabrina Zarlis – Kelas XII 2